Jumat, 03 Januari 2020

Melihat Peluang Bisnis di Internet

Dari kominfo.go.id, menurut lembaga riset pasar e-Marketer,  pengguna internet di Indonesia tahun 2014 berada di peringkat ke-6 dunia yaitu mencapai 83,7 juta orang. Dan pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.

Itu di Indonesia, bagaimana dengan pengguna internet dunia? Di atas Indonesia, sekarang ini ada lima besar negara pengguna internet di dunia dimulai dari yang terbanyak yaitu Tiongkok, Amerika  Serikat, India, Brazil, dan Jepang. Bahkan jumlah pengguna internet di Tiongkok saat ini tercatat sebanyak 643 juta, lebih dari dua kali lipat populasi netter di Amerika Serikat sebesar 252 juta.

Dengan terus berkembangnya pengguna internet di Indonesia dan dunia, ini dapat membuka peluang dalam berbisnis. Para pelaku bisnis bisa memanfaatkan perkembangan internet ini untuk menjangkau konsumennya sampai di pelosok daerah. Selain satu kelebihan tersebut, berbisnis menggunakan Internet juga membuat biaya promosi atau anggaran beriklan semakin rendah. Ini membuat rantai pemasaran dapat terpangkas. Terlebih perkembangan media sosial semakin pesat. Ini dapat dimanfaatkan sebagai platform untuk memasarkan produk para pebisnis tanpa biaya tambahan, selain biaya internet tentunya.

Berbisnis atau lebih sederhananya "berjualan" di internet bisa dibilang sangat mudah dan menguntungkan. Bagaimana tidak, asalkan kita jeli dalam melihat peluang, kita bisa dengan mudah menjadi pedagang yang sukses. Namun tidak semudah membalikan telapak tangan juga. Untuk menjadi pedagang online, kita juga harus mempelajari karakter belanja pengguna internet. Penjual/pebisnis online wajib untuk aktif mencari informasi terbaru yang sedang tren di internet, salah satunya lewat sosial media.

Kegiatan berbisnis yang memanfaatkan teknologi disebut dengan e-commerce. Lebih tepatnya, e-commerce didefinisikan sebagai kegiatan jual beli barang atau jasa melalui jaringan elektronik, umumnya melalui internet. Sedangkan E-business mengacu pada semua kegiatan bisnis yang dilakukan secara online dan tidak terbatas pada hanya kegiatan jual beli saja tetapi termasuk kegiatan yang mendukung proses jual beli.

Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan masyarakat kelas menengah telah mendorong peningkatan konektivitas internet serta penggunaan smartphone. Data Ernst & Young memperlihatkan pertumbuhan nilai penjualan online di Indonesia mencapai 40 persen per tahun. Ini disebabkan smartphone tidak lagi sekadar untuk chatting, tapi berbelanja dan berjualan. Selain itu, perilaku konsumtif masyarakat kelas menengah di Indonesia juga terus meningkat.

Menurut PFS, sebuah lembaga konsultan ecommerce global, Indonesia diperkirakan menjadi salah satu pasar eCommerce dengan pertumbuhan tercepat di kawasan Asia Pasifik di tahun-tahun mendatang. Di tahun 2018, pasar diperkirakan akan meningkat lebih dari 239%, dengan total penjualan sekitar $ 11 miliar.

PFS memperkirakan pasar Indonesia yang tersebar di ribuan pulau yang jumlahnya jumlahnya mencapai 17.500 pulau, akan terfragmentasi dan menjadi hambatan dalam perluasan e-commerce di Indonesia.

Selain itu, beberapa perusahaan start up yang inovatif yang memungkinakn pelanggan ecommerce di pedesaan untuk membayar secara tunai. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang menghubungkan toko-toko lokal dengan distributor produk sehingga transaksi dapat dilakukan secara tunai, yang lebih populer bagi orang-orang yang tidak menggunakan kartu kredit. Salah satu saluran pembayaran yang dapat dimanfaatkan adalah uang elektronik yang di miliki oleh penyedia jasa telekomunikasi.

Konsumsi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi. Oleh karena itu, nilai transaksi ecommerce pun akan terus meningkat. Terlebih lagi dengan upaya pemerintah yang terus memperluas akses internet bagi masyarakat. Celah perkembangan e-commerce di Indonesia masih besar, namun regulasi yang mendasarinya masih belum tersedia dengan sempurna.

Beberapa kebijakan yang masih perlu mendapatkan pembenahan, sebagai contoh adalah pajak. Di satu sisi, ecommerce memungkinkan pelaku bisnis baru bermunculan, sehingga meningkatkan potensi objek pajak. Namun di sisi lain, masih sulit untuk “menangkap objek pajak”. Sebab, aktifitas pemasaran bisa dilakukan secara online, misalnya melalui media social, tetapi eksekusi transaksi kemudian dilakukan secara pribadi. Transaksi seperti inilah yang sulit untuk didata.

Selain itu pemerintah juga ingin memberikan akses yang besar kepada pengusaha domestic, terutama UKM. Dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang suka berbelanja, maka pengusaha Indonesia seharusnya memiliki potensi pasar yang besar. Oleh karena itu, salah satu isu yang dibahas dalam peta jalan adalah dukungan pendanaan, selain juga penyediaan berbagai fasilitas incubator bisnis yang diharapkan dapat membantu UKM Indonesia untuk berkembang, memanfaatkan potensi pertumbuhan ecommerce di dalam negeri.

Selain aspek perpajakan dan pendanaan yang telah disebutkan sebelumnya, secara total terdapat 8 aspek regulasi yang akan dirancang dalam peta jalan e-commerce sebagai program pemerintah dalam Paket Kebijakan Ekonomi XIV.

Keenam aspek lainnya adalah  (1) Perlindungan Konsumen; (2)Pendidikan dan SDM (3) Logistik (4) Infrastruktur komunikasi; (5)Keamanan siber (cyber security); dan (6)Pembentukan Manajemen Pelaksana dengan melakukan monitoring dan evaluasi implementasi peta jalan e-commerce(http://validnews.co)