Dikisahkan perjalanan Kunthi dan Pandhawa sampailah di sebuah desa yang sangat subur tanahnya. Tetapi ada keganjilan yang dirasakan. Banyaknya rumah kosong tanpa berpenghuni menimbulkan dugaan ada hal yang tidak be...res di desa tersebut. Kunthi dan anak-anaknya beristirhat di salah satu rumah besar yang tidak terurus. Rumput liar di halaman depan dan samping rumah mulai tumbuh lebat. Herjuna mengelilingi rumah tersebut, siapa tahu ada orang yang bisa ditanya perihal desa tersebut. Namun tidak ada satu pun orang yang nampak disekitar rumah. Sadewa dan Nakula merengek minta makan. Kunthi kebingungan. Disuruhnya Bimasena dan Harjuna mencari makan di dusun sebelah yang berpenghuni.
Sepeninggal Bima dan Harjuna dari tempat itu, Kunthi memasang telinganya. Alisnya berkerut, menandakan ada sesuatu yang didengarnya.
“Puntadewa ke sinilah, rupanya ada orang di dalam rumah ini. Coba dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa ada beberapa orang sedang berbicara?
Puntadewa mengangguk, menggiyakan pendengaran sang ibu Kunthi, bahwasanya di rumah yang tidak terurus ini masih ada penghuninya.
Siapakah mereka dan apa yang mereka bicarakan? Kunthi dan Puntadewa memasang telinga di dinding bambu yang membujur ke belakang rumah.
Bima, sudah jauh meninggalkan tempat di mana Kunthi, Puntadewa dan kembar berada, tetapi belum juga menjumpai seseorang yang dapat dimintai makan untuk kembar adiknya
Sementara itu sudah beratus langkah Harjuna berjalan belum ada orang yang dijumpai. Harjuna semakin heran. Jika ada perang yang menyebabkan orang di desa ini mengungsi ke luar desa, nyatanya tidak ada tanda-tanda kerusakan akibat perang. Lalu apa yang menyebabkan desa ini seperti mati? Belum lagi Harjuna memikirkan hal lain, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda yang sedang mencari air di sendang.
Harjuna sedikit lega, karena pada akhirnya ia mendapatkan seseorang di dusun yang sebelumnya dianggap tak berpenghuni. Dengan perasaan tidak sabar, Harjuna menunggu wanita yang sedang mengambil air, dan kemudian mengikutinya dari belakang. Mengetahui bahwa langkahnya diikuti seorang pria yang belum dikenal, wanita yang membawa kelenting dipinggangnya tersebut mempercepat langkahnya. Bagi Harjuna hal tersebut justru kebetulan, semakin cepat sampai di rumah akan semakin baik, karena dengan demikian, mudah-mudahan ada makanan di rumahnya dan sebagian boleh diminta untuk menolong adik kembarnya yang kelaparan.
Setengah berlari wanita yang berwajah manis tersebut menuju pada sebuah rumah yang cukup besar, halamannya luas dan tertata rapi. Sesampainya di depan rumah, dengan tergesa, wanita tersebut membuka pintu yang tidak dikunci, setelah meletakkan kelenthing penuh air di atas amben kayu, wanita tersebut segera memeluk lelaki usia tiga puluhan yang berdiri dibalik pintu.
Rumah besar tersebut adalah Rumah Ki Sagotra, Lurah Desa Sendangkandayakan atau lebih sering disebut desa Kabayakan. Ki Lurah Sagotra masih terhitung pengantin baru, karena belum ada satu tahun ia menikah dengan wanita muda berparas manis yang bernama Endang Sumekti atau Rara Winihan. Namun semenjak menjadi isteri Sagotra, Rara Winihan belum mau memadu asmara. Sagotra pantas prihatin dan bersedih atas sikap isterinya. Namun karena cintanya yang begitu besar kepada Rara Winihan, Sagotra selalu bersabar dalam kesetiaan.
Maka sungguh mengejutkan dan mengherankan ketika tiba-tiba saja, pulang dari mencari air, isterinya mendekap erat-erat dan menyembunyikan wajahnya yang manis kedalam dada Ki Sagotra. Tidak dapat dibayangkan betapa bahagianya perasaan Ki Sagotra pada saat itu. Karena selama ini, jangankan saling berpelukan, didekati saja isterinya selalu menghindar.
“Kakang tolonglah!, aku takut, aku dikejar-kejar seorang lelaki.”
Wanita muda berparas manis tersebut menempelkan wajahnya di dada laki-laki yang adalah suaminya. Jantungnya berdetak cepat karena ketakutan. Mendapat pengaduan dari isterinya, Ki Sagotra seakan-akan menampakkan kemarahan terhadap lelaki yang sudah berani mengganggu isterinya. Namun sesunguhnya dilubuk hatinya yang paling dalam Ki Sagotra justru berterimakasih kepada lelaki yang telah mengganggunta. Pasalnya gara-gara lelaki tersebut, isterinya mau memeluk dirinya untuk meminta perlindungan.
Dhuh Gusti, beginilah rasanya dipeluk isterinya, dijadikan tempat untuk mengadu dan dijadikan tumpuan perlindungan oleh isterinya. Isterinya yang selama ini tidak menghirauakan dirinya. Ki Sagotra memang ingin menemui lelaki yang telah berani membuntuti isterinya, tetapi tidak untuk memarahinya, melainkan justru ingin mengucapkan terimakasih. Karena secara tidak langsung lelaki tersebut telah membantu menyadarkan isterinya untuk menempatkan suaminya sebagai mana seharusnya.
Ki Sagotra mengelus rambut Rara Winihan dengan penuh cinta, sambil menenangkan hatinya, untuk kemudian keluar menuju ke halaman rumah. Baru beberapa langkah meninggalkan pintu rumahnya, Ki Sagotra terkejut, lelaki yang mengganggu isterinya telah berdiri di halaman. Wajahnya amat tampan, walaupun memakai pakaian sederhana, kulitnya bersih dan bersinar. Seperti ada yang memerintahkan Ki Sagotra untuk menunduk hormat kepada lelaki tersebut. Dengan sikap bak seorang abdi kepada tuannya. Ki Sagotra bertanya mengenai nama, asal muasal dan keperluannya lelaki asing tersebut datang di Desa Kabayakan.
“Namaku Harjuna, anak Prabu Pandudewanata yang nomor tiga, aku datang tidak untuk mengganggu rumah tangga kalian, tetapi aku ingin memohon belaskasihan untuk mendapatkan dua bungkus nasi bagi adik kembarku yang kelaparan .
“Adhuh Raden, maafkan aku Lurah Sagotra dan isteriku Rara Winihan ini atas segala tindakan yang tidak pantas kami lakukan terhadap salah satu pewaris tahta Hastinapura.”
Ki Lurah Sagotra yang kemudian diikuti oleh Rara Winihan berjongkok dan menyembah Harjuna.
“Ki lurah Sagotra dan Rara Winihan jangan berlebihan memperlakukan aku, aku tidak membutuhkan perlakuan seperti itu, dua bungkus nasi bagiku sangat berarti untuk menolong saudara kembarku yang menangis kelaparan. Apakah kalian tidak keberatan memberikan dua bungkus nasi sekarang juga?”
“Jangankan hanya dua bungkus nasi, segerobakpun akan kami haturkan sebagai tanda bulu bekti kawula kepada raja.”
“Ki Sagotra, untuk sementara ini aku hanya membutuhkan dua bungkus nasi”
Ki Sagotra dan Rara Winihan segera menghaturkan dua bungkus nasi kepada Harjuna. Sebelum meninggalkan Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan, Harjuna berpesan bahwa sikap bakti antara kawula kepada rajanya tidak mengutamakan hasil bumi yang berupa makanan, melainkan hatilah yang diutamakan. Demikian pula seorang raja hendaknya juga berbakti kepada kawula denga hatinya. Artinya dengan seluruh akal budinya untuk menyejahterakan rakyatnya. Jika hati yang diutamakan niscaya, kesejahteraan yang berupa makanan dan hasil bmi bakal melimpah ruah.
“Jika demikian Raden, pada saatnya aku akan mengorbankan seluruh jiwa ragaku termasuk hatiku demi kejayaan junjungan kami, pewaris tahta Hastinapura yang sah.
“Terimakasih Sagotra, aku mohon pamit.”
Ki Sagotra dan Rara Winihan tak pernah berkedhip memandangi Harjuna meninggalkan halaman rumah. Ketika Harjuna tidak kelihatan lagi, kedua pasang mata tersebut saling bertatap. Ada getar menyentuh kalbu. Oh betapa menjejukkan pandangan matamu kakang. kata Winihan dalam hati. Demikian pula Ki Lurah Sagotra pun merasa sesuatu yang istimewa. Mengapa tidak dari dahulu bola matamu kau biarkan telanjang dihadapanku? Keduanya menatap semakin dekat. Dan kemudian rara Winihan menempelkan badannya yang lunak dan hangat ke dalam pelukan Ki Lurah Sagotra. Keduanya berpelukan sangat erat, takut untuk berpisah. Mereka disadarkan, bahwa selama ini mereka telah menyia-nyiakan cinta yang dianugerahkan.
“Kakang aku mencintaimu”
“Winihan”
Cukup hanya menyebut namanya saja, setelah itu Sagotra tak kuasa meneruskan kata-katanya. Kebahagiaannya melebihi keindahan kata-kata. Pelukan isterinya yang pasrah, membuat Lurah muda itu terharu. Terharu karena dirinya mulai dipercaya oleh isterinya untuk menjadi pelindung keluarga yang menentramkan.
Senja mulai merambat malam. Bulan separo tanggal telah menggelantung di langit untuk menemani bintang-bintang yang bertaburan menghias langit. Lampu-lampu minyak dan lentera mulai dinyalakan. Baik di dalam rumah maupun di sudut halaman, untuk menyisihkan pekatnya malam.
Di rumah induk bagian tengah sebelah kanan, ada kamar yang disebutnya dengan kamar pengantin. Namun sejak diset pertama kali yaitu pada waktu Sagotra dan Winihan diresmikan sebagai suami isteri hingga sekarang kamar tersebut belum pernah dipakai. Namun walaupun begitu, kamar tersebut selalu harum semerbak, rapi dan bersih. Jika bunga yang ada mulai layu, akan segera diganti dengan yang baru. Setiap hari Sagotra memasuki kamar tersebut dengan tujuan untuk sebuah harapan. Harapan yang selalu dihidupi dan diperbaharui setiap hari. Harapan sebuah kepastian, bahwa pada saatnya nanti ia dan isterinya dapat mengfungsikan kamar pengantin tersebut sebagai mana mestinya.
Malam itu, hari yang ke 369 sejak pernikahannya, Sagotra dan Winihan beriringan memasuki kamar pengantin. Ada tanda-tanda bahwa harapan Sagotra akan segera terwujud. Harapan untuk mengfungsikan kamar pengantin benar-benar sebagai kamar pengantin. Setelah keduanya memasuki kamar, sebentar kemudian suara pintu berderit lembut, dan kamarpun tertutup rapi. Tidak ada lagi sarana yang dapat menggambarkan betapa nikmat dan mulianya malam itu. Malam pertama bagi pasangan Sagotra dan winihan.di kamar pengantin yang telah diset lebih dari setahun lalu. Dan kidung malam pun menggema di dasar sanubari kedua insan yang sedang memadu kasih.
bagaikan anak kidang
haus akan telaga.
entah berapa waktu dapat bertahan
jikalau tak mendapatkan
seteguk pelepas dahaga
beruntunglah ketika kekeringan
belum benar-benar kering
air mata masih menetes
dan cinta pun masih tersisa
langit bermurah hati
mengguyur segar lingga dan yoni
dewa dan dewi kesuburan berdendang suka
membaca mantra asmara
dhuh Gusti …
nikmat-Mu adalah abadi
mengabadikan
nikmat kami
malam ini
malam pertama
“Rara Winihan, apa yang engkau inginkan?
“Anak laki-laki yang gagah dan sakti Kakang?
“Mengapa tidak menginginkan anak perempuan yang cantik?
“Siapakah nanti yang akan melindungi?”
“Tentu saja aku “
“Sungguh Kakang? Jika yang mengancam Prabu Dwaka?”
“E .. e… e….
Mendengar nama Prabu Dwaka atau lebih sering disebut Prabu Baka, Ki Lurah desa Sagotra tersebut mendadak kelu lidah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Badannya menjadi semakin dingin ketika angin pagi yang membawa embun mulai membasahi genteng dan dinding rumah lurah desa Kabayakan. Sagotra menyesali, kenaapa pada saat-saat yang sangat membahagiakan ini tiba-tiba saja pembicaraan mereka meski sampai kepada nama Prabu Baka? Tidak saja bagi Sagotra, nama Prabu Baka adalah nama yang mampu membuat banyak orang ketakutan. Terutama bagi rakyat di seluruh wilyah negara Ekacakra, termasuk desa Kabayakan.
Prabu Dwaka atau Baka adalah raja yang berkuasa di negara Manahilan atau Ekacakra. Ia bertulang besar, berkekuatan seribu gajah dan saktimandraguna. Namun sayang kedahsyatannya sang raja tidak diperuntukan untuk mengayomi kawula, tetapi justru untuk menancapkan sifat arogansi yang tidak manusiawi demi untuk memuaskan nafsu pribadinya. Perlu diketahui bahwa Prabu Baka mempunyai kebiasaan yang mengerikan dan sekaligus menjijikkan. yaitu, setiap bulan tua ia meminta disediakan satu orang manusia untuk disantap. Kebiasaan itulah yang telah menebar rasa takut dan kengerian yang berlebihan bagi setiap rakyatnya. Namun karena dia raja yang berkuasa, kuat dan sakti, tidak ada yang berani menentangnya, termasuk juga Ki Lurah Sagotra.
Ketidak beranian Lurah Sagotra untuk melindungi warganya itulah yang menyebabkan Rara Winihan dan warga Desa Kabayakan kecewa. Padahal sebelum Sagotra dipilih menjadi Lurah, ia dengan lantang berjanji akan melindungi serta membela warganya dari berbagai ancaman bahaya, baik dari dalam maupun dari luar negara.
Namun setelah dipilih dan diangkat oleh penduduk menjadi lurah desa Kabayakan, Sagotra tidak menepati janji. Lurah Muda tersebut tidak berani melindungi salah satu warganya yang diambil paksa oleh utusan Prabu Baka untuk dijadikan korban. Yang lebih memukul warga kabayakan adalah bahwa pengambilan paksa tersebut dilakukan pada saat warga Desa Kabayakan sedang punya gawe, yaitu malam midodareni perkawinannya Lurah Muda Sagotra dengan Rara Winihan. Atas kejadian tersebut, warga Desa Kabayakan sangat kecewa dengan sikap Lurah Sagotra yang membiarkan salah satu warganya ditangkap diikat dan dimasukan ke dalam gerobag, untuk kemudian dibawa ke Ekacakra..
Sepeninggal utusan Prabu Baka, desa Kabayakan berkabung Rangkaian Upacara Perkawinan di rumah Rara Winihan tetap berlangsung, tetapi tidak ada suka cita di sana.. Rara Winihan yang mejadi pusat dan pelaku utama upacara perkawinan justru menunjukan wajah yang gelap dan sedih. Dibanding Sagotra, Rara Winihan lebih dapat merasakan jeritan ketakutan warga Kabayakan. Ia sangat kecewa mempunyai seorang Lurah yang tidak dapat dijadikan pelinndung warganya. Apalagi Lurah tersebut sebentar lagi akan menjadi suaminya. Lalu bagaimana jika nantinya dirinya yang terancam? Apakah ia berani melindungi? Aku tidak mau mempunyai seorang suami penakut, tidak berani melindungi isterinya dan tidak peduli dengan rakyatnya.
Oleh karena kekecewaan Rara Winihan atas diri Lurah Sagotra, ia berjanji dalam hati, tidak mau menjadi isteri Sagotra jika Sagotra tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pelindung bagi isterinya dan rakyatnya. Walaupun waktu itu, Rara Winihan tetap diresmikan menjadi Isteri Sagotra, lebih dari setahun ia tidak mau melayani Sagotra sebagai suami. Beruntunglah pada hari ke 369 sejak ia menikah dan sejak tragedi di Kabayakan, pertolongan datang. Ada sebuah peristiwa yang menjadikan Sagotra berperan sebagai pelindung atas Rara Winihan yang ketakutan dibuntuti Harjuna. Dan buahnya adalah: Malam Pertama.
Sepeninggal Bima dan Harjuna dari tempat itu, Kunthi memasang telinganya. Alisnya berkerut, menandakan ada sesuatu yang didengarnya.
“Puntadewa ke sinilah, rupanya ada orang di dalam rumah ini. Coba dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa ada beberapa orang sedang berbicara?
Puntadewa mengangguk, menggiyakan pendengaran sang ibu Kunthi, bahwasanya di rumah yang tidak terurus ini masih ada penghuninya.
Siapakah mereka dan apa yang mereka bicarakan? Kunthi dan Puntadewa memasang telinga di dinding bambu yang membujur ke belakang rumah.
Bima, sudah jauh meninggalkan tempat di mana Kunthi, Puntadewa dan kembar berada, tetapi belum juga menjumpai seseorang yang dapat dimintai makan untuk kembar adiknya
Sementara itu sudah beratus langkah Harjuna berjalan belum ada orang yang dijumpai. Harjuna semakin heran. Jika ada perang yang menyebabkan orang di desa ini mengungsi ke luar desa, nyatanya tidak ada tanda-tanda kerusakan akibat perang. Lalu apa yang menyebabkan desa ini seperti mati? Belum lagi Harjuna memikirkan hal lain, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda yang sedang mencari air di sendang.
Harjuna sedikit lega, karena pada akhirnya ia mendapatkan seseorang di dusun yang sebelumnya dianggap tak berpenghuni. Dengan perasaan tidak sabar, Harjuna menunggu wanita yang sedang mengambil air, dan kemudian mengikutinya dari belakang. Mengetahui bahwa langkahnya diikuti seorang pria yang belum dikenal, wanita yang membawa kelenting dipinggangnya tersebut mempercepat langkahnya. Bagi Harjuna hal tersebut justru kebetulan, semakin cepat sampai di rumah akan semakin baik, karena dengan demikian, mudah-mudahan ada makanan di rumahnya dan sebagian boleh diminta untuk menolong adik kembarnya yang kelaparan.
Setengah berlari wanita yang berwajah manis tersebut menuju pada sebuah rumah yang cukup besar, halamannya luas dan tertata rapi. Sesampainya di depan rumah, dengan tergesa, wanita tersebut membuka pintu yang tidak dikunci, setelah meletakkan kelenthing penuh air di atas amben kayu, wanita tersebut segera memeluk lelaki usia tiga puluhan yang berdiri dibalik pintu.
Rumah besar tersebut adalah Rumah Ki Sagotra, Lurah Desa Sendangkandayakan atau lebih sering disebut desa Kabayakan. Ki Lurah Sagotra masih terhitung pengantin baru, karena belum ada satu tahun ia menikah dengan wanita muda berparas manis yang bernama Endang Sumekti atau Rara Winihan. Namun semenjak menjadi isteri Sagotra, Rara Winihan belum mau memadu asmara. Sagotra pantas prihatin dan bersedih atas sikap isterinya. Namun karena cintanya yang begitu besar kepada Rara Winihan, Sagotra selalu bersabar dalam kesetiaan.
Maka sungguh mengejutkan dan mengherankan ketika tiba-tiba saja, pulang dari mencari air, isterinya mendekap erat-erat dan menyembunyikan wajahnya yang manis kedalam dada Ki Sagotra. Tidak dapat dibayangkan betapa bahagianya perasaan Ki Sagotra pada saat itu. Karena selama ini, jangankan saling berpelukan, didekati saja isterinya selalu menghindar.
“Kakang tolonglah!, aku takut, aku dikejar-kejar seorang lelaki.”
Wanita muda berparas manis tersebut menempelkan wajahnya di dada laki-laki yang adalah suaminya. Jantungnya berdetak cepat karena ketakutan. Mendapat pengaduan dari isterinya, Ki Sagotra seakan-akan menampakkan kemarahan terhadap lelaki yang sudah berani mengganggu isterinya. Namun sesunguhnya dilubuk hatinya yang paling dalam Ki Sagotra justru berterimakasih kepada lelaki yang telah mengganggunta. Pasalnya gara-gara lelaki tersebut, isterinya mau memeluk dirinya untuk meminta perlindungan.
Dhuh Gusti, beginilah rasanya dipeluk isterinya, dijadikan tempat untuk mengadu dan dijadikan tumpuan perlindungan oleh isterinya. Isterinya yang selama ini tidak menghirauakan dirinya. Ki Sagotra memang ingin menemui lelaki yang telah berani membuntuti isterinya, tetapi tidak untuk memarahinya, melainkan justru ingin mengucapkan terimakasih. Karena secara tidak langsung lelaki tersebut telah membantu menyadarkan isterinya untuk menempatkan suaminya sebagai mana seharusnya.
Ki Sagotra mengelus rambut Rara Winihan dengan penuh cinta, sambil menenangkan hatinya, untuk kemudian keluar menuju ke halaman rumah. Baru beberapa langkah meninggalkan pintu rumahnya, Ki Sagotra terkejut, lelaki yang mengganggu isterinya telah berdiri di halaman. Wajahnya amat tampan, walaupun memakai pakaian sederhana, kulitnya bersih dan bersinar. Seperti ada yang memerintahkan Ki Sagotra untuk menunduk hormat kepada lelaki tersebut. Dengan sikap bak seorang abdi kepada tuannya. Ki Sagotra bertanya mengenai nama, asal muasal dan keperluannya lelaki asing tersebut datang di Desa Kabayakan.
“Namaku Harjuna, anak Prabu Pandudewanata yang nomor tiga, aku datang tidak untuk mengganggu rumah tangga kalian, tetapi aku ingin memohon belaskasihan untuk mendapatkan dua bungkus nasi bagi adik kembarku yang kelaparan .
“Adhuh Raden, maafkan aku Lurah Sagotra dan isteriku Rara Winihan ini atas segala tindakan yang tidak pantas kami lakukan terhadap salah satu pewaris tahta Hastinapura.”
Ki Lurah Sagotra yang kemudian diikuti oleh Rara Winihan berjongkok dan menyembah Harjuna.
“Ki lurah Sagotra dan Rara Winihan jangan berlebihan memperlakukan aku, aku tidak membutuhkan perlakuan seperti itu, dua bungkus nasi bagiku sangat berarti untuk menolong saudara kembarku yang menangis kelaparan. Apakah kalian tidak keberatan memberikan dua bungkus nasi sekarang juga?”
“Jangankan hanya dua bungkus nasi, segerobakpun akan kami haturkan sebagai tanda bulu bekti kawula kepada raja.”
“Ki Sagotra, untuk sementara ini aku hanya membutuhkan dua bungkus nasi”
Ki Sagotra dan Rara Winihan segera menghaturkan dua bungkus nasi kepada Harjuna. Sebelum meninggalkan Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan, Harjuna berpesan bahwa sikap bakti antara kawula kepada rajanya tidak mengutamakan hasil bumi yang berupa makanan, melainkan hatilah yang diutamakan. Demikian pula seorang raja hendaknya juga berbakti kepada kawula denga hatinya. Artinya dengan seluruh akal budinya untuk menyejahterakan rakyatnya. Jika hati yang diutamakan niscaya, kesejahteraan yang berupa makanan dan hasil bmi bakal melimpah ruah.
“Jika demikian Raden, pada saatnya aku akan mengorbankan seluruh jiwa ragaku termasuk hatiku demi kejayaan junjungan kami, pewaris tahta Hastinapura yang sah.
“Terimakasih Sagotra, aku mohon pamit.”
Ki Sagotra dan Rara Winihan tak pernah berkedhip memandangi Harjuna meninggalkan halaman rumah. Ketika Harjuna tidak kelihatan lagi, kedua pasang mata tersebut saling bertatap. Ada getar menyentuh kalbu. Oh betapa menjejukkan pandangan matamu kakang. kata Winihan dalam hati. Demikian pula Ki Lurah Sagotra pun merasa sesuatu yang istimewa. Mengapa tidak dari dahulu bola matamu kau biarkan telanjang dihadapanku? Keduanya menatap semakin dekat. Dan kemudian rara Winihan menempelkan badannya yang lunak dan hangat ke dalam pelukan Ki Lurah Sagotra. Keduanya berpelukan sangat erat, takut untuk berpisah. Mereka disadarkan, bahwa selama ini mereka telah menyia-nyiakan cinta yang dianugerahkan.
“Kakang aku mencintaimu”
“Winihan”
Cukup hanya menyebut namanya saja, setelah itu Sagotra tak kuasa meneruskan kata-katanya. Kebahagiaannya melebihi keindahan kata-kata. Pelukan isterinya yang pasrah, membuat Lurah muda itu terharu. Terharu karena dirinya mulai dipercaya oleh isterinya untuk menjadi pelindung keluarga yang menentramkan.
Senja mulai merambat malam. Bulan separo tanggal telah menggelantung di langit untuk menemani bintang-bintang yang bertaburan menghias langit. Lampu-lampu minyak dan lentera mulai dinyalakan. Baik di dalam rumah maupun di sudut halaman, untuk menyisihkan pekatnya malam.
Di rumah induk bagian tengah sebelah kanan, ada kamar yang disebutnya dengan kamar pengantin. Namun sejak diset pertama kali yaitu pada waktu Sagotra dan Winihan diresmikan sebagai suami isteri hingga sekarang kamar tersebut belum pernah dipakai. Namun walaupun begitu, kamar tersebut selalu harum semerbak, rapi dan bersih. Jika bunga yang ada mulai layu, akan segera diganti dengan yang baru. Setiap hari Sagotra memasuki kamar tersebut dengan tujuan untuk sebuah harapan. Harapan yang selalu dihidupi dan diperbaharui setiap hari. Harapan sebuah kepastian, bahwa pada saatnya nanti ia dan isterinya dapat mengfungsikan kamar pengantin tersebut sebagai mana mestinya.
Malam itu, hari yang ke 369 sejak pernikahannya, Sagotra dan Winihan beriringan memasuki kamar pengantin. Ada tanda-tanda bahwa harapan Sagotra akan segera terwujud. Harapan untuk mengfungsikan kamar pengantin benar-benar sebagai kamar pengantin. Setelah keduanya memasuki kamar, sebentar kemudian suara pintu berderit lembut, dan kamarpun tertutup rapi. Tidak ada lagi sarana yang dapat menggambarkan betapa nikmat dan mulianya malam itu. Malam pertama bagi pasangan Sagotra dan winihan.di kamar pengantin yang telah diset lebih dari setahun lalu. Dan kidung malam pun menggema di dasar sanubari kedua insan yang sedang memadu kasih.
bagaikan anak kidang
haus akan telaga.
entah berapa waktu dapat bertahan
jikalau tak mendapatkan
seteguk pelepas dahaga
beruntunglah ketika kekeringan
belum benar-benar kering
air mata masih menetes
dan cinta pun masih tersisa
langit bermurah hati
mengguyur segar lingga dan yoni
dewa dan dewi kesuburan berdendang suka
membaca mantra asmara
dhuh Gusti …
nikmat-Mu adalah abadi
mengabadikan
nikmat kami
malam ini
malam pertama
“Rara Winihan, apa yang engkau inginkan?
“Anak laki-laki yang gagah dan sakti Kakang?
“Mengapa tidak menginginkan anak perempuan yang cantik?
“Siapakah nanti yang akan melindungi?”
“Tentu saja aku “
“Sungguh Kakang? Jika yang mengancam Prabu Dwaka?”
“E .. e… e….
Mendengar nama Prabu Dwaka atau lebih sering disebut Prabu Baka, Ki Lurah desa Sagotra tersebut mendadak kelu lidah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Badannya menjadi semakin dingin ketika angin pagi yang membawa embun mulai membasahi genteng dan dinding rumah lurah desa Kabayakan. Sagotra menyesali, kenaapa pada saat-saat yang sangat membahagiakan ini tiba-tiba saja pembicaraan mereka meski sampai kepada nama Prabu Baka? Tidak saja bagi Sagotra, nama Prabu Baka adalah nama yang mampu membuat banyak orang ketakutan. Terutama bagi rakyat di seluruh wilyah negara Ekacakra, termasuk desa Kabayakan.
Prabu Dwaka atau Baka adalah raja yang berkuasa di negara Manahilan atau Ekacakra. Ia bertulang besar, berkekuatan seribu gajah dan saktimandraguna. Namun sayang kedahsyatannya sang raja tidak diperuntukan untuk mengayomi kawula, tetapi justru untuk menancapkan sifat arogansi yang tidak manusiawi demi untuk memuaskan nafsu pribadinya. Perlu diketahui bahwa Prabu Baka mempunyai kebiasaan yang mengerikan dan sekaligus menjijikkan. yaitu, setiap bulan tua ia meminta disediakan satu orang manusia untuk disantap. Kebiasaan itulah yang telah menebar rasa takut dan kengerian yang berlebihan bagi setiap rakyatnya. Namun karena dia raja yang berkuasa, kuat dan sakti, tidak ada yang berani menentangnya, termasuk juga Ki Lurah Sagotra.
Ketidak beranian Lurah Sagotra untuk melindungi warganya itulah yang menyebabkan Rara Winihan dan warga Desa Kabayakan kecewa. Padahal sebelum Sagotra dipilih menjadi Lurah, ia dengan lantang berjanji akan melindungi serta membela warganya dari berbagai ancaman bahaya, baik dari dalam maupun dari luar negara.
Namun setelah dipilih dan diangkat oleh penduduk menjadi lurah desa Kabayakan, Sagotra tidak menepati janji. Lurah Muda tersebut tidak berani melindungi salah satu warganya yang diambil paksa oleh utusan Prabu Baka untuk dijadikan korban. Yang lebih memukul warga kabayakan adalah bahwa pengambilan paksa tersebut dilakukan pada saat warga Desa Kabayakan sedang punya gawe, yaitu malam midodareni perkawinannya Lurah Muda Sagotra dengan Rara Winihan. Atas kejadian tersebut, warga Desa Kabayakan sangat kecewa dengan sikap Lurah Sagotra yang membiarkan salah satu warganya ditangkap diikat dan dimasukan ke dalam gerobag, untuk kemudian dibawa ke Ekacakra..
Sepeninggal utusan Prabu Baka, desa Kabayakan berkabung Rangkaian Upacara Perkawinan di rumah Rara Winihan tetap berlangsung, tetapi tidak ada suka cita di sana.. Rara Winihan yang mejadi pusat dan pelaku utama upacara perkawinan justru menunjukan wajah yang gelap dan sedih. Dibanding Sagotra, Rara Winihan lebih dapat merasakan jeritan ketakutan warga Kabayakan. Ia sangat kecewa mempunyai seorang Lurah yang tidak dapat dijadikan pelinndung warganya. Apalagi Lurah tersebut sebentar lagi akan menjadi suaminya. Lalu bagaimana jika nantinya dirinya yang terancam? Apakah ia berani melindungi? Aku tidak mau mempunyai seorang suami penakut, tidak berani melindungi isterinya dan tidak peduli dengan rakyatnya.
Oleh karena kekecewaan Rara Winihan atas diri Lurah Sagotra, ia berjanji dalam hati, tidak mau menjadi isteri Sagotra jika Sagotra tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pelindung bagi isterinya dan rakyatnya. Walaupun waktu itu, Rara Winihan tetap diresmikan menjadi Isteri Sagotra, lebih dari setahun ia tidak mau melayani Sagotra sebagai suami. Beruntunglah pada hari ke 369 sejak ia menikah dan sejak tragedi di Kabayakan, pertolongan datang. Ada sebuah peristiwa yang menjadikan Sagotra berperan sebagai pelindung atas Rara Winihan yang ketakutan dibuntuti Harjuna. Dan buahnya adalah: Malam Pertama.
(Herjaka HS)